The Information Triangle

(Segitiga Informasi)

PENDAHULUAN

Dalam proses manajemen sekarang ini, suatu organisasi penyebaran dan penggunaan informasi, peserta dalam siklus segitiga (triangle) ini secara umum terdiri dari: Pustakawan atau Manajer Informasi, IT managers, dan Pengguna. Ini bukanlah suatu konsep baru, dimana teknologi dan meningkatnya kebutuhan secara efektif mampu diatasi dalam pengelolaan informasi yang secara radikal dijelaskan kembali mengenai peranan perpustakaan dan komputerisasi secara professional, dan cara dari pengguna dalam mencari informasi. Pustakawan memiliki spesialisasi dalam hal koleksi dan organisasi informasi berbasis kertas yang pengguna dapat mengaksesnya secara fisik, sedangkan professional komputer (IT Managers) memfokuskan dalam hal pengembangan pengetahuan berdasarkan perkembangan teknologi terkini; untuk beberapa bagian, kedua departemen ini terkadang berpikiran pendek dan “…sebagai hasilnya jarang terdapat duplikasi terhadap…dan membuang-buang sumber daya yang ada” (Rapple, 1997).

Suatu perpustakaan atau pusat informasi telah muncul menjadi pelayanan yang komples (rumit) menghadapi bahan-bahan digital sebagai imbas peralihan dari tercetak (conventional printed and microfilm materials), kebutuhan untuk berkolaborasi diantara para peserta (partisipan) dalam segitiga informasi telah tumbuh. Kita percaya dalam scenario yang tepat, “manajemen informasi yang efektif harus dimulai dengan memikirkan mengenai bagaimana pengguna menggunakan informasi bukan dengan bagaimana pengguna menggunakan mesin” (Davenport, 1994), dan sebagai hasilnya tergantung dari kemampuan semua partisipan dalam suatu siklus segitiga informasi untuk bekerjasama dengan berbagi mengenai target yang ingin digariskan dalam misi suatu pekerjaan dalam hal ini kegiatan bisnis.

Mengapa Harus Bekerjasama?

Teknologi telah menciptakan suatu situasi dimana terjadi peningkatan yang melampaui dalam hal jasa/pelayanan diantara IT dan Perpustakaan, dan hasilnya pustakawan lebih perduli dengan sesuatu yang usang sedangkan IT lebih perduli dengan pelanggaran yang melewati batasnya (Lippincott, 1998). Dalam kurun waktu beberapa decade ini telah terjadi perluasan permintaan untuk jasa komputer dan kompleksitas yang muncul dalam pengembangan dan penyediaan akses terhadap informasi elektronik (E-information). Perkembangan ini menjadi tantangan untuk merubah kebiasaan (culture) dari berbagi informasi diantara organisasi, melatih semua peserta (partisipan) dalam segitiga informasi, dan mengawasi hak cipta dalam lingkungan dimana terdapat jumlah besar yang tidak bisa diawasi dan data-data yang tidak sesuai (Internet). Kolaborasi menjadi hal yang sangat penting untuk menumbuhkan menambha modal dalam perpaduan sumber-sumber intelektual dan berbagai macam sudut pandang dari professional informasi, kebutuhan untuk mengembangkan layanan baru dan metode dalam hal manajemen informasi, kelangkaan sumber DM dan sumber financial, overlapping fungsional, saling ketergantungan anata Pustakawan dan IT staff, serta keselamatan suatu institusi dalam lingkungan yang sangat kompetitif ini.

Definisi Peranan

Dalam Proses Segitiga Informasi (Information Triangle), terdapat 3 peran penting yang ikut ambil bagian, dalam suatu proses ini, ketiga bagian ini mutlak, saling melengkapi antara satu dan yang lain, dan seharusnya pula peran ini mungkin harus mulai dibiasakan untuk dioperasionalkan dalam aktivitas implementasi informasi di suatu institusi. Peranan yang ada dalam segitiga informasi, terdiri dari:

  1. Pengguna Informasi

Pengguna bisa siapa saja dalam suatu lingkungan organisasi yang membutuhkan informasi untuk menunjang kerja mereka dan menjangkau tugas dari teknis sampai dengan kepada tugas manajemen senior. Pengguna secara umum, bukanlah seorang yang ahli terhadap teknologi komputer, dan juga mereka bukanlah orang yang ahli dalam mengelola informasi. Walau demikian, dibutuhkan suatu kemampuan untuk menggunakan system yang sudah ada oleh para ahli teknologi dan informasi dan juga memiliki ketertarikan yang sama untuk memastikan bahwa suatu system yang mereka gunakan adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka. Pengguna biasanya berharap dapat memperoleh secara cepat, mudah, dan tepat informasi yang mereka inginkan dalam database yang ada (quick and easy manner). Mereka tidak memiliki banyak waktu “menelusur melalui jaringan” atau browsing menggunakan mesin pencari yang terkadang menyediakan hasil yang relevan. Keberagaman kebutuhan pengguna, seperti pentingnya untuk mempertahankan fleksibilitas dan efisien dalam pencarian informasi untuk memudahkan penyebaran informasi secara tepat waktu, relevan dan akurat.

Davenport membicarakan mengenai mengenai tekonologi informasi dan juga kekhawatiran para manager. Ia berpendapat bahwa beberapa perusahaan menerapkan teknologi manajemen informasi secara besar tabpa memperkirakan/memperdulikan bagaimana informasi secara aktual digunakan dan para teknokrat (ahli) yang menjadi ”Constantly caught off guard by the ’irrational’ behaviour of end users” (Davenport, 1994).

Berikut beberapa kelebihan dan kekurangan dari pengguna informasi:

Strengths (kelebihan)

§ Memiliki akses langsung terhadap sumber online (katalog online), ditambah akses melalui perpustakaan terhadap pangkalan data bibliografik serta online jurnal full teks;

§ Secara bertahap terdapat peningkatan dalam hal penggunaan sumber-sumber informasi elektronik secara mandiri tanpa perantara pustakawan;

§ Informasi sekarang lebih sering diakses melalui komputer (jaringan), dibandingkan dengan berkunjung ke perpustakaan;

§ Menekankan pola pikir layanan self-service, bukannya layanan melalui pustakawan;

§ Peranan pustakawan kedepan yaitu bergerak ke arah pendidikan, tetapi ”pelayanan” masih diperlukan.

Weaknesses (kelemahan)

§ Mencari hasil, tanpa mengetahui dimana mencarinya atau menggunakan pendekatan seperti apa;

§ Menggunakan perkembangan teknologi informasi terbaru, tanpa mengetahui bagaimana cara kerjanya, berikut temu kembalinya;

§ Kebingungan dengan informasi yang berlebihan (information overload);

§ Sumber informasi yang diperoleh masih kompleks, tidak sempurna, dan kurang tepat.

  1. Information manager

Secara sejarah, ”Pustakawan telah menjadi seorang kolektor dan kurator buku, menyusun buku untuk di inventarisasi, disimpan dan dipergunakan, menggunakan berbagai alat serta mekanisme seperti katalog, bagan klasifikasi, sistem sirkulasi dan hal sejenisnya” (Feather, 1998).

>>> to be continued

Read More...

Sarana Manajemen dan Perencanaan Operasional Pelestarian: lanjutan

(Sudiro sudjoko)

Sarana Manajemen Pelestarian

Dalam aktivitasnya, pengelolaan pelestarian bahan pustaka melibatkan berbagai komponen seperti halnya tenaga, pengelola, koleksi, metode, sarana, dan prasarana, serta uang. Dalam konsep manajemen istilah-istilah tersebut dikenal dengan nama tools of management atau sarana manajemen. Terdapat berbagai macam pendapat mengenai sarana manajemen ini, seperti yang dikemukakan Manullang. Menurut pendapatnya sarana manajemen terdiri atas ”6 M” yaitu Man, Money, Machines, Materials, Methods, dan Market (Manullang, 1987:17), ada juga yang menyebutkan ”7 M” dengan tambahan Moral (Wursanto, 1983:27). Sedangkan menurut Martoadmodjo, (1991) berbagai unsur penting atau sarana manajemen yang perlu diperhatikan dalam pelestarian bahan pustaka terdiri atas:

  1. Manajemennya, perlu diperhatikan siapa yang bertanggung jawab dalam pekerjaan ini. Bagaimana prosedur pelestarian yang harus diikuti. Bahan pustaka yang akan diperbaiki harus dicatat dengan baik, apa saja kerusakannya, apa saja alat dan bahan kimia yang diperlukan dan sebagainya.
  1. Tenaga (SDM) yang merawat bahan pustaka dengan keahlian yang mereka miliki. Mereka yang mengerjakan pelestarian ini hendaknya mereka yang telah memiliki ilmu atau keahlian/ keterampilan dalam bidang ini. Paling tidak mereka sudah pernah mengikuti penataran dalam bidang pelestarian dokumen.
  1. Laboratorium, suatu ruang pelestarian dengan berbagai peralatan yang diperlukan, misalnya alat penjilidan, lem, alat laminasi, alat untuk fumigasi, vacuum cleaner dan sebagainya.
  1. Dana untuk keperluan kegiatan ini harus diusahakan dan dimonitor dengan baik, sehingga pekerjaan pelestarian tidak akan mengalami gangguan. Pendanaan ini tentu tergantung dari lembaga tempat perpustakaan bernaung.

Berbagai sarana manajemen tersebut merupakan suatu modifikasi dari sarana manajemen yang dikenal dalam dunia ekonomi pada umumnya. Selain itu sarana manajemen merupakan suatu potensi yang perlu diatur dan dikelola dengan baik sehingga tujuan perpustakaan sebagai wahana layanan informasi bagi penggunanya dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dengan kata lain unsur-unsur tersebut diatas perlu diperhatikan keberadaanya dalam menggerakkan perpustakaan, khususnya dalam hal pelestarian untuk mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, sehingga keberadaan perpustakaan ditengah-tengah masyarakat dapat berhasil dan berdaya guna, khususnya dalam hal menyeleksi, menghimpun, mengolah, memelihara sumber-sumber informasi, dan memberikan layanan serta nilai tambah bagi mereka yang membutuhkannya (Sutarno, 2004:3).

Perencanaan Operasional Pelestarian

Perpustakaan, kearsipan, dan museum bertanggung jawab tidak hanya sekedar untuk mengumpulkan, menginterpretasi, dan memamerkan koleksinya yang bernilai sejarah, tetapi institusi tersebut juga bertanggung jawab dalam hal pelestarian koleksinya untuk jangka panjang (long-term preservation), keamanan dan aksesbilitas terhadap koleksinya tersebut. Pelestarian merupakan bagian integral (menyeluruh) dari misi suatu institusi, maksudnya perencanaan mengenai kegiatan pelestarian haruslah menjadi bagian dari keseluruhan rencana strategis yang akan dibuat. Seperti yang diuraikan sebagai berikut:

  1. Perencanaan pelestarian merupakan suatu proses dalam penentuan kebutuhan baik umum dan juga khusus (spesifik) yang digunakan untuk perawatan koleksi, penentuan/pembentukan prioritas perawatan koleksi, termasuk sumber daya untuk implementasi/pelaksanaannya.
  2. Tujuan utama pelestarian yaitu menggambarkan suatu tindakan atau aktivitas yang diambil oleh suatu institusi dalam menetapkan agenda kegiatan pelestarian koleksinya untuk masa mendatang.
  3. Sebagai tambahan, pelestarian mengidentifikasi tindakan yang akan diambil oleh institusi dan pengalokasian sumber daya yang sewajarnya.

Cunha (1988:1-2) menganjurkan agar dalam pembuatan rencana operasional pelestarian bahan-bahan pustaka untuk kepentingan jangka panjang, hal-hal berikut sebaiknya diketahui terlebih dahulu:

  1. kondisi fisik koleksi bahan pustaka yang dimiliki dan telah menjadi bagian dari tanggung jawabnya;
  2. ciri-ciri dan keadaan di dalam serta di luar lingkungan kerja;
  3. efek atau pengaruh lingkungan terhadap koleksi yang ada; dan
  4. perkembangan informasi mengenai buku-buku teks yang membahas persoalan pelestarian dan tujuan pelestarian dalam jangka panjang.

Sekalipun diakui pentingnya kegiatan pelestarian bahan pustaka dan kompleksnya permasalahan pelestarian, namun sampai saat ini belum ada satu modelpun yang cocok untuk di terapkan di Perpustakaan. Pada konferensi “Book in Peril” pada tahun 1976, Pamela Darling (1976:2343-2347), memberi petunjuk umum berdasarkan hasil analisisnya, sebagai berikut:

Darling menyarankan agar pembagian tugas dan tanggung jawab pelestarian sepenuhnya dan sebagian ikut dipikirkan, baik dengan atau tanpa tambahan tenaga. Semua rencana harus dikoordinasi oleh seseorang penanggung jawab. Adapun proses penetapan rencana dan pelaksanaannya disesuaikan dengan pembagian tugas dan tanggung jawab, yang akan terdiri dari lima langkah pokok, yaitu:

  1. Menetapkan sasaran pelestarian;
  2. Menaksir koleksi yang ada;
  3. Mengidentifikasi unsur-unsur program pelestarian, berikut sasaran masing-masing yang sudah dikategorikan sebelumnya;
  4. Menetapkan prioritasnya; dan
  5. Menerjemahkan program ke dalam rencana-rencana pelaksanaan, berikut jadwal-jadwal waktunya.

Setelah arah dan lingkup program pelestarian ditetapkan, selama proses pelestarian dilakukan kontrol dan penilaian-penilaian ulang secara berkala. Kegiatan tersebut di muka itu secara singkat disebut ”Manajemen Pelestarian”; (Feather, 1991:76). Sebagaimana umumya aktivitas manajemen yang lain, kegiatan-kegiatan itu meliputi pengadaan dan penyiapan sumber daya manusia, materi dan dana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Sedangkan Dureau dan Clements (1990:3) mendeskripsikan jika setiap perpustakaan, setelah menentukan maksud dan tujuannya, perlu menengaskan sejauh mana ia akan memperoleh bahan pustaka dan memelihara bahan-bahan yang ditambahkan ke koleksinya. Penentuan kebijakan ini akan berdampak pada perencanaan keuangan.

Penentuan kebijakan pertama dilakukan pada tahap seleksi, yaitu memutuskan apakah perpustakaan akan menambahkan suatu bahan pustaka atau tidak ke dalam koleksi. Kebijaksanaan selanjutnya ialah menentukan lamanya waktu yang diperlukan untuk menyimpan bahan-bahan tadi. Keputusan ini perlu diambil dengan penuh kesadaran akan segala akibatnya. Menyimpan bahan-bahan pustaka untuk selama mungkin memerlukan biaya besar untuk tempat penyimpanan, persyaratan penyimpanan khusus, dan pada waktunya pembiayaan untuk pengawetan atau perbaikan.

Lebih lanjut Dureau dan Clements mengungkapkan, bahwa tidak ada satu pedoman umum bagi suatu perpustakaan mengenai bahan apa saja yang harus dipilih untuk pengadaan dan pelestarian di masa yang akan datang; ini tergantung pada kebijakan masing-masing perpustakaan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa bahan yang tidak dipilih untuk penambahan koleksi perpustakaan mungkin tidak akan tahan lama untuk generasi berikutnya.

Perpustakan tidak selamanya harus melestarikan bahan hanya dalam bentuk aslinya, tetapi juga dapat melestarikan informasi yang terkandung dalam suatu bahan tertentu dalam bentuk lain (misalnya, mikrofilm, piringan optik, atau fotokopi). Lagi pula perpustakaan dapat mencegah kerusakan bahan asli dengan menarik kembali bahan tadi dari pemakaian umum atau bahkan melaksanakan beberapa tindakan perlindungan seperti meletakkan bahan dalam kotak atau menyediakan kantong-kantong.

Lebih jauh dikemukakan bila suatu perpustakaan akan membuat kebijakan pelestarian koleksinya, terdapat beberapa keputusan yang perlu diambil atau diperhatikan , seperti:”

a) Hubungan dengan kebijakan pengadaan misalnya ketika memutuskan untuk membeli kopi tambahan untuk maksud pengawetan, membeli copy dalam bentuk mikro atau menyiangi, dan membuang judul tertentu;

b) Hubungan dengan kegiatan katalogisasi dan pencatatan dengan menyarankan para pemakai lebih baik menggunakan bahan pengganti daripada bahan asli, atau menyediakan suatu daftar induk bahan-bahan yang tersedia dalam bentuk mikro;

c) Hubungan dengan kebijakan penyimpanan seperti menjamin penampungan yang baik dan peralatan penyimpanan yang sesuai;

d) Hubungan dengan kebijakan pelayanan umum, seperti larangan memakai bahan asli, membatasi fotokopi, atau memberi petunjuk mengenai cara memegang buku dengan baik;

e) Hubungan dengan program pameran untuk menjamin bahwa bahan tidak akan rusak, misalnya dengan melaksanakan perbaikan seperlunya, menyediakan bantuan yang memadai untuk pameran secara fisik, dan menjamin lingkungan yang memadai (Dureau - Clement, 1990:5)”.

Berbagai saran ilmiah dan teknis maupun kebijakan dan teknik pelestarian dan pengawetan juga harus turut dipertimbangkan. Semua ini akan mempengaruhi biaya dan keuangan.

Daftar Pustaka:

Chapman, Patricia. (1990). Guidelines on preservation policies in the archieves and libraries heritage. Paris: UNESCO.

Cunha, George M. (1988). Method of Evaluation to determine The Preservation Needs in Libraries and Archieves: A RAMP study with Guidelines. Paris : UNESCO.

Dureau, J.M. dan D.W.G. Clements (1990). Dasar-dasar pelestarian dan pengawetan bahan-bahan pustaka. Jakarta : Perpustakaan Nasional.

Kusuma, Hendra (2006). Pengelolaan koleksi terbitan Berseri di Perpustakaan Nasional RI (skripsi). FIB UI: Depok

Manullang (1987). Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wursanto, Ig (1983). Dasar-dasar Manajemen Umum. Jakarta: Pustaka Dian.

Read More...