BUNGA RAMPAI KEARIFAN LINGKUNGAN

Bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan kebudayaan yang beraneka ragam. Secara kesuku-bangsaan, berdasarkan perbedaan bahasa daerah, terdapat + 555 suku bangsa atau sub-suku bangsa yang terbagi dalam ribuan komunitas yang tersebar di Kepulauan Nusantara. Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan faktor pendorong sekaligus kekuatan penggerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman mengelola lingkungan. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang dikembangkan masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Keanekaragaman pola-pola adaptasi itu semakin besar dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan sedang mengalami perkembangan yang amat sangat pesat sebagai akibat pelaksanaan pembangunan nasional.

Sebagai bangsa yang besar bukan saja dikaruniai oleh potensi sumberdaya alam yang melimpah, tetapi juga keanekaragaman kebudayaan dan kemajemukan masyarakat yang tersebar di Kepulauan Nusantara, dimana masing-masing komunitas memiliki sumberdaya sosial atau modal sosial yang bermanfaat bagi pembangunan. Seringkali modal sosial setempat sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan permukiman mereka. Modal sosial itu biasanya berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan erat kaitannya dengan pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adaptasi yang kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra. Modal sosial (social capital) yang memiliki kearifan ekologis itu dikembangkan, dipahami dan secara turun-temurun diterapkan sebagai pedoman dalam mengelola lingkungan terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Sumberdaya sosial yang diwarisi secara turun-temurun tersebut, pada kenyataannya terbukti sangat efektif menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan menjamin keserasian lingkungan sosial dan binaan.

Pola-pola pengelolaan lingkungan secara tradisional sesungguhnya dapat dijadikan model dalam peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sekaligus pemberdayaan ekonomi. Banyak model kearifan lingkungan yang dikembangkan oleh ribuan komunitas tersebar di seluruh wilayah Tanah Air Indonesia. Masing-masing komunitas mengembangkan kearifan lokal yang diperoleh dari pengalaman adaptasi dengan diperkaya oleh kreativitas inovatif anggota masyarakat. Kita mengetahui efektivitas teknologi Rotasi di perladangan yang dikembangkan oleh masyarakat lokal di Kalimantan dalam memulihkan kesuburan tanah, atau pranata Sasi di Maluku sebagai norma perlindungan lingkungan perairan, atau rempong dammar sebagai model konservasi yang dikembangkan masyarakat Krui di Lampung Barat, atau teknologi hompongan pada masyarakat kubu sebagai upaya membentengi hutan dari eksploitasi sumberdaya hutan, serta masih banyak lagi model kearifan lingkungan yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai kearifan yang dapat digali serta dimanfaatkan dalam upaya pelestarian fungsi lingkungan.

Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kearifan (wisdom) dapat disepadankan pula maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah atau serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit. Kearifan biasanya baru dipahami dan atau diakui ketepatannya setelah suatu keputusan dapat diterima dan dilaksanakan secara taat azas dan berkesinambungan oleh sejumlah pihak yang bersangkut paut dengan penyelesaian suatu masalah yang muskil karena mereka berkeyakinan bahwa keputusan itu baik dan benar, baik ditinjau dari kepentingan mereka masing-masing maupun ditinjau dari sudut tujuan bersama yang akan dicapai. Analogi dengan definisi di atas bahwa kearifan lingkungan (ecological wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas pendukungnya. Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, memanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Pengetahuan rakyat yang memiliki kearifan ekologis itu dikembangkan, dipahami dan secara turun-temurun diterapkan sebagai pedoman dalam mengelola lingkungan terutama dalam mengolah sumber daya alam. Pengelolaan lingkungan secara arif dan berkesinambungan itu dikembangkan mengingat pentingnya fungsi sosial lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Manfaat yang diperoleh manusia dari lingkungan mereka, lebih-lebih kalau mereka berada pada taraf ekonomi subsistensi, mengakibatkan orang merasa menyatu atau banyak tergantung kepada lingkungan mereka. seperti ungkapan orang Dayak, “Hancurnya hutan alam akan menghancurkan kita juga” (Dove, 1994; Algadrie, 1994). Perasaan menyatu dengan lingkungan alam atau munculnya kesadaran bahwa alam adalah sumber kehidupan mereka, mendorong manusia untuk menciptakan norma-norma yang dipakai sebagai pedoman bagi kelakuan mereka dalam mengelola lingkungan, lengkap dengan sanksi-sanksi sosial bagi mereka yang melanggarnya. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, berkat pengetahuan yang mereka peroleh dari pengalaman maupun berdasarkan observasi terhadap lingkungannya, mereka mengembangkan pula aneka kearifan ekologi tradisional (Soemarwoto, 1989). Norma-norma yang mengatur kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ditambah dengan kearifan ekologi tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.

Konsistensi penerapan kearifan lingkungan sebagai acuan dalam bertindak maupun bersikap dalam pengelolaan lingkungan hidup, relatif masih ditemukan di pedesaan. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam akan lebih banyak tercermin pada masyarakat pedesaan (tradisional) yang imanen karena mereka masih relatif terikat pada pranata kebudayaan yang menekankan pentingnya keserasian, keharmonisan dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Akan tetapi pada sebagian kelompok masyarakat pedesaan, telah dipengaruhi oleh kehidupan materialistik dan moneteristik sehingga nilai luhur ini telah banyak luntur atau mengalami degradasi. Kearifan lingkungan terpaksa harus digali dengan jeli dari para orang tua yang seringkali sudah uzur atau dengan teknik analisis isi (content analysis), misalnya melalui tradisi lisan.

Tidak dipungkiri bahwa pesatnya pembangunan yang berlangsung selama ini telah berhasil meningkatkan taraf hidup sebagian masyarakat. Peningkatan taraf hidup tersebut ternyata diikuti oleh peningkatan jumlah ragam maupun kualitas kebutuhan. Dampaknya, masyarakat berlomba-lomba untuk meningkatkan produksi untuk dilempar ke pasar. Sejalan dengan itu pula berkembang nilai-nilai (industri) dan pranata baru yang menekankan pentingnya peningkatan produktivitas tanpa menghiraukan kelestarian fungsi lingkungan hidup. seiring dengan pesatnya persebaran nilai-nilai baru yang terbawa oleh kegiatan pembangunan, yang ditandai dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi maju yang berpedoman pada nilai-nilai industri, telah menyisihkan/ mengikis sumber daya sosial yang berporos pada kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan yang selama ini menjadi pedoman dalam mengelola lingkungan mengalami pergeseran atau degradasi sebagai akibat pesatnya kemajuan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan persebaran nilai-nilai (industri) dan pranata sosial baru. Modal sosial yang arif lingkungan cenderung diabaikan oleh anggota masyarakat, karena dianggap tidak produktif atau tidak efektif. Memudarnya sumber daya sosial yang arif lingkungan, sesungguhnya merugikan pengelolaan lingkungan itu sendiri. Kearifan tradisional, seperti diberbagai pelosok daerah di Bumi Pertiwi ini, seakan-akan tidak berdaya bahkan tersisihkan atas pesatnya persebaran nilai-nilai baru yang menitik-beratkan pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan kelestarian fungsi dan keserasian lingkungan sosial dan binaan. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup itu merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Mengingat potensinya untuk memperlancar dan sebaliknya dapat menghambat pelaksanaan program yang menuntut keikutsertaan masyarakat sebagai mitra.

Sesuai dengan komitmen untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sudah sepantasnya kita memberi perhatian terhadap sumber daya sosial yang sudah terbukti berhasil menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Terbitnya buku “Bunga Rampai Kearifan Lingkungan” ini merupakan suatu upaya dalam hal inventarisasi, dokumentasi, revitalisasi serta perlindungan hukum atas pengetahuan kearifan lingkungan masyarakat tradisional atau masyarakat agraris di Indonesia dalam hal melestarikan, merevitalisasi dan memberi perlindungan terhadap kearifan lingkungan yang berkembang pada berbagai kelompok masyarakat. Yang pada akhirnya data yang diinventaris dapat dijadikan acuan (guide book) dalam pengembangan kebijakan serta program pembangunan lingkungan hidup oleh para pemerhati lingkungan hidup. Selain juga bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat sebagai mitra pengelolaan lingkungan hidup melalui penyediaan informasi tentang kearifan lingkungan.



*Sudiro Sudjoko


Read More...